Edisi Hari Pancasila

MENDAKI MERAH PUTIH

Suatu hari ku ceritakan:

Tentang satu kemerdekaan-

Yang masih bermain layangan,

Seperti ibu menggandeng tangan,

Gadis kecil yang butuh bimbingan.

Butir yang lima tersedia.

Tapi, terlampau kecil untuk dibaca.

Padahal, matanya tak bercadar-

Hanya menjiwainya: tak sampai akar.

Celakalah yang tergugat:

Pelanggar yang tersurat.

Karena mereka salah mengira,

Yang kaku tidaklah terpenjara!

Bangsa ini memang terasingkan!

Tidak! Di mana tempatnya?

Terbujur di hati setiap jiwa harusnya.

Kekayaan yang lebih dari melimpah ruah.

Membuncah dari setiap sudut desa.

Tapi hanya bisa marah-

Ketika diambil seenak rasa.

Aku!

Rincik yang gaduh,

Riuh yang bergemuruh,

Tapi sesungguhnya, akulah dengkur yang teridur.

Aku!

Satu unsur Negara.

Berdiri tegak di puncak menara kebebasan.

Menghormat tegang

Pada kibarnya bendera setengah tiang.

Tak ada yang harus di cerca.

Bahkan, ketika yang tua dislahkan.

Karena, yang lama sudah menembus pelataran,

Giliran pucuknya yang berkaca.

Lihat! Harta yang kita punya.

Yang dibalut berbagai busana,

Diceritakan banyak bahasa,

Dan dilantunkan beragam irama.

Tanah ini negeriku!

Bangsa luhur dari leluhur.

Yang sempat terguling kedalam sumur.

Milik mata tanpa nurani itu.

Tanah ini negeriku!

Terkungkung dalam nelangsa,

Selama waktu menua.

Terdiam terperangkap waktu,

Berharap kesudahan dengan sejuta rindu.

Kelam takdirmu, negeriku!

Tapi ini zaman kami.

Generasi kini!

Membakar!

Bukan hanya belajar.

Kami berjuang dengan gembira.

Menyalakan api, karena kamilah batubara.

Berdegup kencang jantung tak karuan,

Seperti akan bertunangan.

Inilah zaman kami!

Zaman dari puncak puisi.

Yang membawa nyala merah,

Dari fajar yang bergolak marah,

Dalam gelap gulita pagi.

Kemerdekaan hakikilah janji kami.

Janji yang menjadi darah daging sejak dini.

Tak peduli kematian seorang patih.

Demi mendaki ”merah putih”.